Mengenal Al-Muhkam Wal Mutasyabih Dalam Al-Quran
Mengenal Al-Muhkam Wal Mutasyabih Dalam Al-Quran
Oleh: Ust. Davik Ihsan Purnama, Lc.
Prolog
Al-Quran diturunkan sebagai pedoman bagi seluruh manusia. Ia telah
membuat bangsa Arab tidak berdaya untuk membuat kitab yang serupa,
bahkan membuat satu surah pun yang setara dengan keindahan bahasa dan
kesaratan makna Al-Quran. Sebagaimana telah dicoba oleh Musailamah
Al-Kaddzab yang ingin membuat surah yang serupa dengan surah Al-Fiil.
Satu kisah ini hendaknya menjadi salah satu bukti kemukjizatan
Al-Quran.
Salah satu keistimewaan Al-Quran adalah bahwa di dalamnya terdapat
ayat-ayat yang disebut al-muhkam dan al-mutasyabih. Di dalam tulisan
yang sederhana ini penulis akan mencoba mengulas definisi al-muhkam dan
al-mutasyabih yang terdapat di beberapa kitab ulumul quran. Kemudian
akan di ulas juga sebagian pendapat ulama tentang sebab suatu ayat
termasuk dari al-mutasyabih serta macam-macam al-mutasyabih. Juga akan
dibahas tentang perbedaan aqidah umat islam yang disebabkan oleh
perbedaan cara memahami maksud dari ayat-ayat mutasyabih. Pada akhir
tulisan , penulis akan sedikit mengulas hikmah-hikmah yang dapat kita
ambil dengan adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dalam Al-Quran.
Definisi al-muhkam dan al-mutasyabih
Secara etimologi, muhkam berasal dari kata-kata : “hakamtu addabata wa ahkamtu” yang artinya saya menahan binatang itu.
Kata alhukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim
adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara dua pihak
yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil dan
antara kebenaran dan kebohongan. Muhkam berarti (sesuatu) yang
dikokohkan. Ihkam al kalam berarti mengokohkan perkataan dengan
memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari
yang sesat.[1]
Adapun kata mutasyabih, ia secara bahasa (etimologi) berasal dari
kata “tasyabuh” yang berarti keserupaan dan kemiripan. “Tasyabaha” dan
“isytabaha” berarti saling menyerupai satu dengan lainnya hingga tampak
mirip sehingga perbedaan yang ada diantara keduanya menjadi samar.
Sehingga ungkapan orang-orang bani Israil kepada nabi Musa yang
berbunyi “inna albaqara tasyabaha ‘alaina” berarti “sesungguhnya sapi
itu sangat mirip di mata kami” , dan firman Allah saat mensifati nikmat
surga “wa utuu bihi mutasyabihan” yang berarti “dan mereka diberi yang
serupa “[2].
Jadi makna mutasyabih adalah ungkapan yang memperlihatkan bahwa
sesuatu itu sama dengan sesuatu yang lain dalam satu atau beberapa sisi
atau sifat, atau yang membuat sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal,
dan tidak mudah untuk dipahami [3].
menurut definisi diatas, Al-Quran seluruhnya adalah muhkam yang
berarti bahwa Al-Quran itu kata katanya kokoh, fasih ( indah dan jelas)
dan membedakan antara yang hak dan yang batil dan antara yang benar dan
yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan muhkam dalam arti umum,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah :
الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ ( هود : 1 )ـ
الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ ( يونس : 1 )ـ
Disamping itu Allah juga menjelaskan bahwa Al-Quran seluruhnya adalah mutasyabih, maksudnya Al-Quran itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan mutasyabih dalam arti umum. Sebagaimana firman Allah SWT :
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ
الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ
إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ
وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَاد ( الزمر : 23)ـ
Kemudian Allah menjelaskan bahwa sebagian Al-Quran adalah muhkam dan sebagian lagi adalah mutasyabih. Hal ini berarti bahwa sebagian ayat Al-Quran adalah jelas maksud dan maknanya, dan sebagian lagi belum jelas maksud dan maknanya. Allah berfirman :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ ( ال عمران : 7
)ـ
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak atau umum sebagaimana diatas tidak saling menafikan atau menimbulkan kontradiksi satu dengan yang lain, jadi pernyataan Al-Quran bahwa seluruhnya “muhkam” adalah dengan pengertian itqan (kokoh, indah ) yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafadz-lafadznya berbeda-beda. Jika Al-Quran memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya di tempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya. Demikian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Al-Quran[4]. Allah berfirman :
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ
لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرا ( النساء : 82 )ـ
Perbedaan ulama dalam makna almuhkam dan almutasyabih
Az-Zarqani dalam Manahil Al-‘irfan fi Ulumil Quran telah mengumpulkan
beberapa pendapat ulama dalam mengartikan almuhkam dan almutasyabih
yang terdapat dalam Al-Quran, diantaranya :
- Almuhkam adalah yang jelas maksudnya dan tidak ternaskh. Adapun almutasyabih adalah hal-hal samar yang tidak dapat diketahui maksudnya dengan dalil ‘aqli maupun naqli, yaitu hal-hal yang hanya Allah yang mengetahui hakikatnya, seperti hari kiamat dan huruf muqattha’ah yang terdapat di awal beberapa surah. Al-Alusi menisbahkan pendapat ini kepada ulama hanafiah.
- Almuhkam adalah hal-hal yang diketahui maksudnya dengan zhohir maupun takwil, sedangkan almutasyabih adalah hal-hal yang hanya Allah yang mengetahui hakikatnya, seperti hari kiamat, munculnya dajjal dll. Pendapat ini dipegang oleh ahlus sunnah.
- Almuhkam adalah yang hanya mengandung satu kemungkinan takwil, dan almutasyabih adalah yang mengandung beberapa kemungkinan takwil. Ibnu abbas mengambil pendapat ini dan diikuti oleh banyak ahli ushul.
- Almuhkam adalah yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan penjelasan, sedangkan almutasyabih adalah yang tidak dapat berdiri sendiri. Pendapat ini dating dari imam ahmad bin hanbal.
- Almuhkam adalah tepat dalam susunan dan tartibnya, sedangkan almutasyabih adalah hal-hal yang tidak dapat dipahami maksudnya melalui bahasa, kecuali adanya tanda atau qorinah. Pendapat ini dinisbahkan kepada imam alharamain.
- Almuhkam adalah yang jelas maknanya dan tidak ada keraguan di dalamnya. Adapun almutasyabih adalah sebaliknya. Pendapat ini dianut oleh at-thiibi dan diikuti oleh sebagian ulama muta’akhir.
- Almuhkam adalah hal-hal yang dilalahnya ( dapat diambil sebagai dalil ) kuat atau rajah, dan almutasyabih adalah hal-hal yang dilalahnya tidak kuat. Pendapat ini diambil oleh imam ar-razi dan diikuti oleh sebagian muhaqqiq.
Az –Zarqani mengatakan bahwasanya hanya ada 7 pendapat yang mu’tabar,
tetapi beliau juga menyebutkan 4 pendapat lain yang tidak mu’tabar,
antara lain :
- Almuhkam adalah hal-hal yang dilaksanakn, sedangkan almutasyabih adalah hal-hal yang diyakini dan tidak dilaksanakan. Pendapat ini diusung dari ikrimah dan qatadah.
- Almuhkam adalah hal-hal yang dapat dipahami maknanya, dan almutasyabih adalah sebaliknya. Seperti bilangan shalat dan kewajiban puasa ramadhan dll.
- Almuhkam adalah yang lafadznya tidak disebutkan berulang-ulang, dan almutasyabih adalah yang lafadznya disebutkan berulang-ulang.
- Almuhkam adalah ayat-ayat yang tidak ternasakh, dan almutasyabih adalah ayat-ayat yang ternaskh[5].
Perbedaan pendapat tentang kemungkinan mengetahui mutasyabih
Manna’ qotthon dalam bukunya mabahits fi Ulumil Quran mengatakan
bahwa ulama berbeda pendapat apakah almutasyabih merupakan hal-hal yang
dapat diketahui atau tidak. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal
pada masalah waqaf dalam ayat : “ Warrasikhuna fil ‘ilmi”. Apakah kedudukan lafadz ini sebagai mubtada yang khabarnya ialah “Yaquluun”, dengan “Wawu” diperlakukan sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafadz “ Wama ya’lamu ta’wilahu illallahu” ataukah ia (Warrasikhuna fil ‘ilmi) ma’thuf pada lafazh “ Wama ya’lamu ta’wilahu illallahu” sedang lafazh “Yaquluun” kedudukan nya menjadi hal bagi lafazh : “ Warrasikhuna fil ‘ilmi”
Pendapat pertama ( waqaf pada lafazh “ Wama ya’lamu ta’wilahu illallahu”, lafazh “ Warrasikhuna fil ‘ilmi” sebagai mubatada, huruf Wawu sebagai isti’naf/permulaan, lafazh “Yaquluun” sebagai
khabar ) diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubay bin Ka’ab, Ibnu
Masud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan yang lainnya. Mereka
beralasan antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Al-Hakim
dalam mustadraknya, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia membaca : “Wama ya’lamu ta’wilahu illallahu, wayaqulu arrasikhuna fil ‘ilmi amanna bihi” . Dan dengan qiraat Ibnu Masud : “Wainna ta’wilahu illa ‘indallahi warrasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” terhadap
orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan mensifatinya sebagai
orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha
menimbulkan fitnah”. Dari Aisyah ia berkata ; “Rasulullah SAW membaca
ayat ini ‘huwalladzi anzala ‘alaikal kitab sampai dengan ‘ulul albab”.
Kemudian ia berkata “apabila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah. Maka waspadalah
terhadap mereka.”
Pendapat kedua ( yang menyatakan huruf Wawu pada lafazh Warrasikhuna fil ‘ilmi sebagai huruf ‘athaf atau lafazh Warrasikhuna fil ‘ilmi diikutkan pada lafazh Wama ya’lamu ta’wilahu illallahu )
dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Imam Mujahid .
diriwayatkan dari mujahid, ia berkata : “saya telah memabacakn mushaf
kepada Ibnu ‘Abbas mulai dari fatihah sampai tamat, saya pelajari sampai
paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya”.
Pendapat ini dipilih juga oleh imam Nawawi, dalam syarah muslimnya ia
menyatakan : “inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin
Allah SWT menyeru kepada hamba-hambaNya dengan sesuatu yang tidak dapat
diketahui maksudnya oleh mereka”. Dan mujahid termasuk salah satu
mufasir ternama dan didengarkan perkataannya, Sufyan At-tsaury berkata :
bila engkau mendapatkan tafsir suatu ayat dari mujahid maka cukuplah
engkau dengan itu”[6].
Pendapat ini juga dianut oleh Dr.Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor
seraya beliau mengatakan : almutasyabih dapat diketahui oleh
ar-rasikhuun fil ilmi, inilah makna yang terkandung dalam perkataan Ibnu
Abbas : “saya termasuk ar-rasikhuun fil ilmi yang dapat mengetahui
takwilnya”[7]
Sebab-sebab yang membuat suatu ayat termasuk dari almutasyabih
Az-Zarqani berpendapat bahwa sebab tasyabuh suatu ayat secara umum
adalah ambiguitas atau kesamaran maksud Allah dalam firmannya yaitu
Al-Quran. Adapun secara terperinci, maka dibagi dalam 3 bagian :
- Kesamaran dalam lafadz, yang terbagi lagi menjadi dua : mufrod dan murokab. Mufrod disebabkan oleh keasingan atau jarangnya pemakaian suatu lafadz, seperti “abba” dalam firman Allah : “Wa fakitan wa abba” yang berarti makanan hewan, hal ini tersirat dalam firman Allah : “Mata’an lakum wa li an’amikum”. Mufrod juga disebabkan oleh banyaknya makna dari suatu lafadz atau yang biasa kita sebut isytirok, seperti “alyamin” dalam firman Allah : “farogho ‘alaihim dhorban bil yamin”adapun murokab, ia disebabkan oleh tiga hal. Pertama karena penyingkatan suatu ayat, seperti firman Allah : “Wa in khiftum allaa tuqsithu fil yatama fankihu maa thaaba lakum minan nisaa’I”. Kedua disebabkan oleh kesempurnaan Al-Quran, seperti firman Allah : “Laisa kamitslihi syaiun” . Ketiga disebabkan oleh penempatan suatu kata, seperti firman Allah : “Alhamdulillahi al-ladzi anzala ‘ala ‘abdihi al-kitaba walam ya’jal lahu ‘iwajan. Qoyyiman.. “
- Kesamaran dalam makna, seperti semua ayat tentang sifat-sifat Allah, hari kiamat , nikmat surga dan adzab neraka dll. Karena akal manusia tidak akan dapat mengetahui dzat Allah dan hal-hal ghaib yang hanya Allah maha tahu segala, “Tafakkaru fil kholqi wa laa tafakkaru fil kholiqi fainnakum la tuqodiiruna qodrahu”.
- Kesamaran dalam lafadz dan makna, seperti firman Allah : “dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya”[8].
Sedangkan Ar-Raghib Al-Ashfahani mengatakn bahwa kesamaran dalam lafadz dan makna terbagi menjadi lima :
- Dari segi jumlah, seperti firman Allah : “Bunuhlah orang-orang musyrikin”.
- Dari segi kaifiyah, seperti firman Allah : “maka nikahilah wanita-wanita yang kamu inginkan”.
- Dari segi waktu, seperti firman allah : “bertaqwalah engkau dengan sebenar-benar taqwa”.
- Dari segi tempat dan sebab turunnya suatu ayat, seperti firman Allah : “ dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya”.
- Dari segi syarat-syarat sahnya suatu ibadah, seperti syarat sah shalat, syarat sah nikah, haji, zakat dll[9].
Pembagian almutasyabih
Az-Zarqani menyebutkan dalam bukunya bahwa almutasyabih adalah 3 macam :
- Hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh seluruh manusia, seperti dzat Allah, sifat-sifat Allah, hari kiamat dll. Allah berfirman : “Dan di sisi Allah lah kunci-kunci semua yang gaib, taka da yang mengetahuinya kecuali Allah SWT”
- Hal-hal yang dapat dicapai oleh seluruh manusia dengan pembelajaran seperti almutasyabih yang kesamarannya terdapat dalam lafadz.
- Hal-hal yang hanya dapat diketahui sebagian manusian saja, merekalah yang disebut Ar-Rasikhuuna Fil-‘Ilmi[10]
Hikmah ayat-ayat mutasyabih
Hikmah yang dapat kita ambil dari ayat-ayat mutasyabihat berdasarkan pembagian diatas antara lain :
- Rahmat Allah kepada manusia yang tidak akan dapat mengetahui segalanya. Apabila gunung hancur lebur saat melihat dzat Allah dan nabi Musa jatuh pingsan, lalu bagamina dengan manusia biasa.
- Ujian dan cobaan, apakah manusia beriman dengan hal ghaib atau tidak?. Oleh karena itu orang-orang yang mendapat petunjuk akan mengatakan : “kami beriman”, walaupun mereka tidak mengetahui secara jelas, Dan orang-orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan akan mengingkari hal itu, sebagaimana tersebut dalam firman Allah dalam surat An-nisa ayat ke 7.
- Sebagaimana disebutkan oleh Ar-Razi bahwa Al-Quran mencakup seruan kepada kaum awam dan orang-orang berilmu. Karena kadar pemahaman kaum awam sangat jauh berbeda dengan pemahaman orang-orang berilmu.
- Bukti kelemahan manusia dan kebodohannya, serta menjadi bukti atas kemahakuasaan Allah dan hanya dialah yang dapat mengetahui segala sesuatu. Hal ini juga menjadi bukti bahwa makhlukNya tidak akan mengetahui segala sesuatu kecuali dengan seiziinnya.
- Ar-Razi juga menyebutkan bahwa kalaulah seluruh Al-Quran adalah muhkam, maka ia hanya sesuai dengan suatu madzhab dan tidak sesuai dengan madzhab lainnya. Lima hikmah ini disebutkan Az-Zarqani untuk bagian pertama dari 3 macam almutasyabih diatas, yaitu ayat-ayat yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh seluruh manusia, seperti dzat Allah SWt, hari kiamat dll.
Adapun hikmah yang terkandung dari dua macam lainnya adalah:
- Pembenaran kemukjizatan Al-Quran, karena ayat-ayat mutasyabihat banyak mengandung balaghah dan bayan dalam bahasa arab.
- Kemudahan dalam menghafal Al-Quran dan menjaganya, karena ayat-ayat mutasyabih banyak mengandung makna yang kalau ditulis seluruhnya dalam mushaf akan menjadikan mushaf yang berjilid-jilid jumlahnya dan sulit dalam menjaga hafalannya.
- Sebagaimana disebutkan oleh Ar-Razi bahwa saat kita menemukan ayat-ayat mutasyabih, maka kita akan lebih sulit memahami maksud dari ayat tersebut. Di dalam kesulitan itulah terdapat pahala yang lebih besar.
- Ar-Razi juga menyebutkan bahwa dengan adanya ayat-ayat mutasyabih, maka para ulama merasa terpangiil untuk menciptakan ilmu-ilmu baru. Oleh karena itu keberadaan ayat-ayat mutasyabih dapat memunculkan ilmu-ilmu baru.
- Ar-Razi juga menyatakan bahwa dengan adanya ayat-ayat mutasyabih para ulama akan merasa perlu untuk menggunakan dalili-dalil ‘aqli, maka ia telah selamat dari jurang taqlid. Karena apabila seluruh Al-Quran adalah muhkam maka ia tidak akan perlu menggunakan akal, dan akal akan tetap terabaikan[11].
Perbedaan aqidah umat berdasarkan pemahaman ayat mutasyabih tentang sifat Allah SWT
Ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat mutasyabih yang
menjelaskan sifat-sifat Allah SWT, mereka terbagi kedalam 3 madzhab :
- Madzhab salaf yang biasa madzhab al-mufawwidhoh, mereka berpendapat bahwa pemahaman yang paling selamat mengenai ayat-ayat tentang sifat Allah SWT adalah dengan menyerahkan hakikat makna ayat tersebut sepenuhnya kepada Allah SWT semata, setelah mensucikan Allah SWT dari makna-makna dhohir yang mustahil untukNya. Pendapat mereka berlandaskan dalil-dalil sebagai berikut :
- Dalil ‘aqli, bahwa penentuan makna yang berlandaskan bahasa adalah bersifat dzonny, sedangkan sifat Allah SWT termasuk ke dalam aqidah yang pemahamannya tidak dapat menggunakan dalil dzonny.
- Dalil naqli, mereka berpegang teguh kepada hadist-hadist dan perkataan sahabat dan tabi’in, diantaranya :
~ dari ‘aisyah, ia berkata : “Rasulullah SAW membaca ayat : “Huwa al-ladzi anzala ‘alaika al-Kitaba minhu aayaatun muhkamatun….”, ‘aisyah berkata : Rasulullah bersabda : maka apabila engkau melihat orang-orang yang disinyalir oleh Allah SWT, maka hati-hatilah terhadap mereka”[12]~ Hadist yang diriwayatkan oleh ibnu marduwaih dari bapaknya dari kakeknya, dari Rasulullah SAW, beliau berkata : sesungguhnya Al-Quran tidak turun untuk saling mendustakan antara satu ayat dengan lainnya , maka kerjakanlah apa yang engkau ketahui darinya, dan imanilah apa yang mutasyabih darinya”[13].~ Riwayat ibnu jarir dari ibnu abbas marfu’an : “Al-Quran turun dalam 7 huruf ; halal dan haram yang setiap orang harus mengetahuinya, tafsir yang dating dari bahasa Arab, tafsir yang dating dari para ulama, dan mutasyabih yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah. Maka barang siapa yang mengaku telah mengetahuinya maka dia adalah seorang pembohong”.~ Ibnu abi hatim meriwayatkan melalui jalan al-‘awfi, dari ibnu abbas, ia berkata : “kami beriman kepada muhkam dan kami beribadah dengannya. Dan kami beriman kepada mutasyabih tetapi kami tidak beribadah dengannya, ia berasal dari Allah semata”.~ Sebagaimana imam malik menjawab pertanyaan seseorang tentang arti dari istiwa’ : “istiwa itu diketahui, dan bentuknya tidak dapat dicapai oleh akal, dan iman terhadapnya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”[14]~ Rabi’ah bin abdur rahman mengatakan : “istiwa telah diketahui, dan bentuknya tidak dapat dicapai oleh akal, dari Allah lah pengutusan seorang rasul, dan rasul wajib menyampaikannya, dan kita wajib meyakininya”[15]
- Madzhab khalaf yang biasa disebut madzhab al-muawwilah. Mereka terbagi lagi menjadi dua golongan, golongan pertama mentakwil ayat-ayat sifat ini dengan sifat yang tidak diketahui kepastian bentuknya oleh manusia sebagai tambahan bagi sifat-sifat Allah yang telah kita ketahui kepastian bentuknya, golongan ini banyak dinisbahkan kepada abu al-hasan al-asy’ari. Sedangkan golongan kedua mentakwilkan ayat-ayat ini dengan sifat-sifat dan makna-makna yang telah kita ketahui, maka makna yang mustahil bagi Allah dapat diartikan menurut bahasa Arab yang sesuai dengan kebesaran Allah secara ‘aqli dan syar’i. madzhab ini banyak dinisbahkan kepada ibnu burhan dan beberapa ulama mutaakhirin.Dalil yang melandasi madzhab muawwilah ini adalah keharusan memahami lafadz dengan tidak mengabaikannya, yang mana hal ini dapat menyebabkan adanya lafadz tanpa makna dalam Al-Quran. Oleh karena itu selama masih ada kemungkinan dalam memaknai kalam ilahi dalam arti yang benar, maka kita wajib mengartikannya setelah mensucikan Allah SWT dari aib dan kekurangan[16].
- Madzhab mutawwasith yang diusung oleh imam ibnu daqiq al-‘ied. Beliau mengatakan : “apabila takwil suatu ayat mendekati bahasa arab, maka kita kita tidak mengingkarinya. Adapun apabila takwilnya jauh dari bahasa Arab, maka kita hendaknya tawaqquf dan beriman terhadap makna dhohir dari ayat sifat tersebut, seletah mensucikan dzat Allah SWT dari segala kekurangan. Dan apabila makna lafadz dari ayat tersebut dapa dipahami melalui dhohirnya, maka kita memahaminya tanpa tawaqquf.
Kita akan lebih memahami perbedaan pendapat ulama ini melalui contoh
pemahaman setiap madzhab mengenai ayat-ayat sifat Allah SWT, salah
satunya makna kalimat “istiwa” yang terdapat dalam firman Allah SWT :
“الرحمن على العرش استوى” (طه : 5 )
Madzhab salaf berpendapat bahwa hakikat “istiwa” disini hanya Allah SWT yang mengetahuinya, karena Allah SWT lah yang lebih tahu segala sesuatu yang dinisbahkan kepadaNya dan segala sesuatu yang sesuai dengan kebesaranNya. Sedangkan madzhab kholaf akan mentakwil makna “istiwa” di dalam ayat ini, karena mustahil bagi Allah berbicara kepada hamba-hambanya dengan sesuatu yang tidak mereka pahami. Kemudian mereka berbeda pendapat dalam mentakwil ayat diatas, golongan yang dinisbahkan kepada imam asy’ari akan mentakwil tanpa menentukan bentuk. Mereka mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT mempunyai sifat sam’iya tanpa kita ketahui bentuknya, yang disebut sifat “istiwa”. Adapun golongan mutaakhirin akan menentukan bentuk “istiwa” . yang tersebut dalam ayat, mereka berpendapat bahwa maksud dari “istiwa” disini adalah penguasaan tanpa usaha dan perlawanan.
Masih banyak ayat-ayat mengenai sifat Allah SWT yang terdapat dalam
Al-Quran , seperti “al-wajhu”, “al-yadu, “as-saaqu”, “al-janbu”, dll.
Imam al-kirmani[17] mengatakan bahwa di dalam Al-Quran terdapat 594 ayat mutasyabih tentang sifat Allah SWT, sedangkan imam as-syinqithi[18] berpendapat bahwa di dalam Al-Quran terdapat 525 ayat muhkamat yang membahas tentang tauhid, ibadah dan mu’amalah[19].
Epilog
Dari semua pemaparan tulisan sederhana di atas, kiranya kita sudah
bisa mengambil sikap bagaimana memahami ayat-ayat mutasyabih yang
terdapat di dalam Al-Quran. Kedua madzhab di atas adalah benar dan haq,
karena perbedaan pendapat kedua madzhab ini hanyalah bersifat lafdzi,
pengikut madzhab pertama mengatakan bahwa ar-rasikhuna fil ilmi tidak
mengetahui almutasyabih, yaitu hakikaht almutasyabih yang hanya
diketahui oleh Allah SWT semata. Sedangkan pengikut madzhab kedua
mengatakan bahwa ar-rasikhuna fil ilmi mengetahui almutasyabih,
maksudnya adalah mereka hanya mengetahui dhohirnya saja tanpa mengetahui
hakikat almutasyabih tersebut. Maka mereka bersepakat bahwa hakikat
almutasyabih tidak diketahui oleh ar-rasikhuna fil ilmi.
Wallahu a’lam bish shawab…
______________________________
[1] Manna’ Al Qotthon, Mabahist fi ‘ulumil Quran, Maktabah Wahbah, Cet. Ke 13, Th. 2004, Hal 206
[2] Muhammad Abdul ‘Adzim Az Zarqony, Manahilul ‘irfan fi ‘ulumil Quran, Dr. Hadis Kairo Th. 2001, jilid 2, Hal 225
[3] M. Quraish Shihab dan tim, sejarah dan ‘Ulum Al-Quran, Hal 120.
[4] Manna’ Al Qotthon, Op.Cit, Hal 206.
[5] Muhammad Abdul ‘adzim Az Zarqony, Op.Cit, jilid 2, Hal 227.
[6] Manna’ Al Qotthon, Op.Cit, Hal 208.
[7] Dr.Muhammad Suialiman Abdullah Al-Asyqor, Al-wadhih fi ushul fiqh, Dr.Salam,kairo cet ke3 th 2006, Hal 86.
[8] Muhammad Abdul ‘adzim Az Zarqony, Op.Cit, jilid 2, Hal 231.
[9] Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti, Al Itqon Fi Ulumil Quran, Maktabah Taufikiyah, Kairo, jilid 2, Hal 245.
[10] Muhammad Abdul ‘adzim Az Zarqony, Op.Cit, jilid 2, Hal 243.
[11] Ibid, hal 235
[12] HR.Bukhari, Hadist ke 4273
[13] HR Ahmad, Hadist ke 6663, dan Thobroni, Hadist ke 519.
[14] Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti, Op.Cit, jilid 2, Hal 247.
[15] Ibid.
[16] Manahil, jilid 2, Hal 241
[17] Muhammad bih Hamzah Al-Kirmani, penulis kitab Asror At-tikror fil Quran, wafat th 505H.
[18]
Muhammad Al-Amien bin Muhammad Al-Mukhtar Al-jakani As-Syinqithi,
penulis buku Adhwaul Bayan Fi Idhahil Quran bil Quran, wafat th 1393 H
[19] Baca Mahmud b. Hamzah b. Nasr al-Kirmani, al-Burhan fi Tawjih Mutasyabih Al-Qruan, Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Beirut Th 1986.
Mengenal Al-Muhkam Wal Mutasyabih Dalam Al-Quran
Reviewed by DD Azhar
on
2:28 AM
Rating:

No comments: