Top Ad unit 728 × 90

Tulisan Terbaru

[recent]

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (1)

Ketika mencoba membuka pembicaraan tentang sebuah persoalan yang sering dibahas akhir-akhir ini, rasanya tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah tuntas selama kita tidak pernah mencoba membuka hati dan pikiran terhadap hujjah dan pendapat orang lain. Ketika kita masih mengedepankan egoisme dan menutup pikiran, maka kebenaran yang datang dari orang lain akan sulit masuk dan hampir saja akan mustahil kita terima.
Telah banyak kita mendengar dan membaca penjelasan para ulama tentang persoalan-persoalan yang  sebenarnya tidak semestinya dipermasalahkan dan diributkan lagi, sebab agama islam sendiri telah memberikan peluang dan kesempatan kepada para mujtahid dan ulama untuk berijtihad dari dasar hukum itu sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Allah SWT dan Rasulnya SAW tidak menjelaskan dengan rinci setiap permasalahan yang ada dan zaman selalu berkembang dan memunculkan hal-hal yang baru, maka disinilah peran para mujtahid dan para ulama dalam menjawab persolan yang berkembang. Mereka menimbang setiap hal dengan timbangan yang akurat yaitu Al-quran dan Sunnah.
Namun walaupun demikian, sebagian orang dan kelompok terkesan memaksakan pendapat mereka kepada orang lain, sehingga tak kala mereka mendapati adanya perbedaan pendapat walaupun perbedaan itu terjadi sendiri dikalangan salaf, dengan mudah mereka mencap sebagai ahli bid'ah. Secara tidak lansung juga mereka telah mengatakan banyak diantara ulama salaf adalah pelaku bid'ah. Waiiyazubillah.
Inilah pembahasan masalah bid'ah yang hingga dasawarsa ini tak pernah menemukan titik temu dan memang tidak akan ada titik temu selama kita masih mengedepankan rasa tassub, bukan mengedepankan hujjah dan kebenaran. 
Salah satu titik yang sangat mencolok yang menjadi hujjah bagi mereka adalah menjadikan timbangan setiap hal dengan apa yang tidak dilakukan Rasulullah SAW. Bukankah seharusnya yang sebaliknya dengan menjadikan timbangan sebuah amalan dengan yang apa yang amalkan oleh Rasulullah SAW, baik yang beliau kerjakan atau yang beliau sengaja tidak mengerjakannya. 
Numun karena perkataan ini telah sangat banyak didengan, sekarang timbul sebuah pertanyaan besar dalam benak kita, benarkan setiap hal yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW adalah bid'ah yang sesat dan haram? 
Dalam tulisan singkat ini, kita akan mencoba mengupasnya dengan dalil-dalil dari hadis dan amalan para salafus shaleh. Semoga tulisan ini diberkahi dan di redhoi Allah SWT. Amin…
At-Tarku La Yufidhu At-Tahrim ( Yang ditinggalkan Nabi SAW tidak menunjukkan keharaman )
Mayoritas ulama membagi bid'ah ( hal baru ) kepada lima macam, sebagai mana yang disebutkan oleh Sultan  Al-Ulama, Izzuddin Bin Abdus Salam dalam kitabnya Qowaid Al-Ahkam. Syeikh Izzuddin mengatakan, sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Nabi SAW meliputi hukum yang lima, rincian hukum tersebut dapat diperoleh dengan cara menimbangnya  dengan Qowaid Syariah yang telah ada. 
Sesuatu yang baru yang belum terjadi pada zaman Nabi SAW tersebut bisa menjadi wajib, seperti pengumpulan Al-quran dalam satu mushaf. Bisa menjadi sunnah seperti pendirian madrasah, bisa menjadi mubah seperti bersalam salaman setelah sholat berjamaah, bisa jadi makruh seperti menghiasi mesjid dengan berlebihan dan bisa jadi haram seperti munculnya mazhab qodoriah, mujassimah dan jabariyah.
Namun sebagian orang, sebagaimana yang disebut oleh Dr. Al-Arfaj dalam kitabnya  Mafhum Al-Bidah sebagai  Almudoyyiquun Lima'na Bid'ah yaitu orang-orang yang mempersempit makna bid'ah. Mereka berpendapat bahwa setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya adalah bid'ah yang sesat. Dengan dalih, kalau lah saja hal tersebut baik tentunya mereka telah mengerjakannya terlebih dahulu. 
Mereka dengan cepat bisa menyimpulkan, jika tidak dikerjakan Rasulullah SAW dan salafus saleh maka hal itu terlarang atau haram. Kemudian muncullah sebuah kaedah At-tarku Yaqtadi At-tahrim yang berarti, sesuatu yang tidak dilakukan-oleh Nabi SAW- menunjukkan keharaman ).  Namun apakah benar setiap yang tidak dilakukan Rasulullah SAW dan salafussaleh adalah haram?
Para ulama mencoba mengkaji kitab-kitab Ushul Fiqh yang merupakan sebuah disiplin ilmu yang mesti dan wajib dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab ilmu ini pokok atau podasi bagi setiap mujtahid dalam menimbang sebuah persolan yang ada. Namun tidak satupun dari ulama Ushul Fiqih dalam kitab-kitab mereka yang mengatakan bahawa At-tarku Yaqtadi At-tahrim ( sesuatu yang tidak dilakukan menunjukkan keharaman ). 
Justru yang ada ditemukan adalah kaedah An-Nahyu Yufidu At-Tahrim (sebuah larangan menunjukkan keharaman). Namun ulama Usul Fiqh sendiri juga berbeda pendapat dalam hal ini, apakah asal dari sebuah larangan ( An-Nahyu) menunjukkan keharaman atau makruh saja. Pendapat ketiga juga ada yang berpendapat tawaquf sampai ada qarinah atau dalil yang menunjukkannya kepada  keharaman atau makruhannya.
Berbicara tentang Al-Matruk ( sesuatu yang ditinggalkan-oleh Nabi-) ulama membaginya kepada dua macam:
1. Sesuatu yang ditinggalkan -oleh Nabi- tanpa ada maksud ( Ma taroka min ghairi qasdin)
2. Sesuatu yang ditinggalkan -oleh Nabi-  karena ada maksud –meninggalkannya- ( Ma taroka biqosdin)
Adapun yang pertama, jelas tidak ada kandungan hukumnya. Ia tidak menunjukan kepada keharamannya dan tidak kemakruhannya, akan tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang dijadikan sebagai petunjuk dan dalil. 
Sebagaimana fatwa Syeikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawanya : Tidak boleh seseorang mengatakan makruh hukumnya masuk kedalam  hamamat ( tempat pemandian) atau tidak disunnahkan memasukinya hanya karena Rasulullah SAW tidak pernah memasukinya, tidak juga Abu Bakar, tidak juga Umar. Akan tetapi hal tersebut akan menjadi sebuah hujjah jika Rasulullah  SAW dan sahabat melarang memasukinya atau bermaksud menjauhinya atau mereka mungkin saja untuk memasukinya akan tetapi sengaja tidak memasukinya. Sebagaimana diketahui, bahwasannya hamam tidak ada ditemui di Hijaz waktu itu. Maka tidak sah jika kita menghukuminya makruh atau tidak disunnahkan masuk ke hamamat (tempat pemandian) hanya disebabkan karena tidak masuknya Nabi SAW ke tempat tersebut. 
Sebagaimana juga setiap yang diciptakan Allah SWT di dunia ini dari makanan, pakaian, kendaraan dan tempat tinggal, tidak semuanya ada di Hijaz tempat Nabi SAW tinggal. Nabi tidak memakan setiap jenis makanan, tidak memakai semua jenis pakaian. Akan tetapi kaum muslimin yang hidup di Mesir, Syam, Iraq, Yaman, Khurasan, Azerbaijan, Mahgrib dan tempat yang lain, memiliki makanan dan pakaian yang khas dan biasa mereka pakai. 
Walau demikian, mereka tidak memahami bahkan tidak ada terlintas dalam benak mereka untuk meninggalkan semua itu demi mengikuti sunnah Rasulullah SAW hanya karena beliau tidak pernah memakan makanan mereka dan tidak memakai pakain seperti yang mereka pakai. 
Kemudian adapun yang kedua, yaitu adanya maksud Nabi SAW untuk meninggalkannya, sebaimana juga disebut sebagai  As-Sunnah At-Tarkiyah. Hal ini tampak dari perbuatan beliau SAW. Misalnya dengan menahan diri, menjauhi dan menghindar dari hal tersebut. Namun tidak serta merta lansung menghukuminya menjadi haram, akan tetapi perlu dikaji dan diteliti dari qorinah-qorinah yang ada dengan Qowaid Ahkam yang telah ditetapkan para ulama. Apakah hal tersebut haram, makruh dan mubah. Disinilah objek kajian para ulama Usul Fiqih dan Ahli Fiqih.
As-Sunnah At-Tarkiyah ( Sesuatu yang sengaja ditinggalkan Nabi SAW)
Pada dasarnya sebagai umat Nabi Muhammad SAW, setiap hal yang ditinggalkan oleh nabi  mesti juga kita tinggalkan sebagai bentuk qudwah kita dalam mengikuti Rasulullah SAW. Maka hal ini disebut sebagai As-Sunnah At-Tarkiyah. Yang dimaksud dengan As-Sunnah At-Tarkiyah disini adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW, baik itu berupa perkataan atau perbuatan. Namun dengan syarat adanya maksud atau kesengajaan  beliau meninggalkannya. 
Sebab bagaimana mungkin kita bisa mensifati sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW merupakan sebuah Sunnah, kalau beliau sendiri tidak ada maksud meninggalkannya. Maka apa bila Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu karena memang maksud dan kesengajaan beliau, maka itu merupakan syariat bagi umatnya. Baik itu berupa wajib, sunnah, mubah atau makruh tergantung qarinah yang menunjukkannya.
Contoh  dari As-Sunnah At-Tarkiyah yang wajib, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim bahwasannya As-Sho'bu bin Jutsama berburu himar wahsy untuk Rasulullah SAW dengan maksud menghadiahkannya kepada beliau. Namun Rasulullah SAW menolaknya karena beliau sedang berihrom. Imam nawawi menjelaskan bahwasannya daging binatang buruan yang diburu oleh seseorang yang sedang berihrom atau diburukan untuk dia yang sedang ihrom, maka hukumnya haram baginya memakan daging binatang hasil buruannya. 
Kemudian contoh As-Sunnah At-Tarkiyah yang Sunnah, seperti amalan Rasulullah SAW ketika meninggalkan Istilam kepada Rukun Iraqi dan Syami ketika tawaf. Tidak Istilamnya Rasulullah pada Rukun Iraqi dan Rukun Syami merupakan kesengajaan dengan dalil, bahwasannya Rasulullah  SAW hanya istilam kepada Rukun Yamani dan Hajar Aswad saja disetiap kali tawaf. 
Contoh dari As-Sunnah At-Tarkiyah yang mubah, seperti Nabi SAW tidak memakan danging Ad-Dhobt. Bukan karena keharaman dagingnya, akan tetapi binatang tersebut tidak biasa dimakan di tempat beliau. Namun Rasulullah SAW tidak melarang sahabat yang lain untuk memakannya. 
Dan masih banyak lagi hadis-hadis lain yang menjelaskan bahwasannya sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW ( At-tarkun Nabi ) tidaklah menunjukkan keharaman. Namun akan menghasilkan hukum yang berbeda sesuai dengan qarinah-qarianah yang menunjukkan kepadanya. 
Diantara contoh yang lain adalah:
1. Nabi SAW (meninggalkan) untuk tidak mengerjakan Sholat Tarawih sebulan penuh, karena takut mewajibkan kepada umatnya. ( Riwayat Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan Imam Abu Daud)
2. Nabi SAW (meninggalkan) untuk tidak memerintakan umatnya bersiwak ketika wudhu dan sholat karena takut memberatkan umatnya. (Riwayat Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Nasai', Imam Abu Daud, Imam Tirmizi dan Imam Ibnu Majah )
3. Nabi SAW (meninggalkan) tidak mengakhirkan sholat  Isa karena takut menyusahkan umatnya. (Riwayat Imam Ahmad, Imam Tirmizi, Imam Hakim, dan Imam Baihaqi )
4. Nabi SAW (meninggalkan) untuk tidak merenofasi Ka'bah karena takut terjadi fitnah setelah beliau. (Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasai dan Imam Tirmizi )
Jadi dapat disimpulkan bahwasannya setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW dengan adanya maksud beliau meninggalkannya bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Karena kalaulah sesuatu itu wajib, mengapa Nabi SAW meninggalkannya, akan tetapi hukumnya akan dapat dilihat dari qarinah atau petunjuk yang mengantarkannya kepada hukum tertentu. 
Bisa hukumnya menjadi sunnah seperti meninggalkan buang air kecil berdiri, bisa menjadi mubah seperti memakan daging Ad-Dhob, bisa menjadi makruh seperti Istilam kepada Rukun Iraqi dan Syami atau bisa jadi haram seperti memakan hasil binatang buruan, bagi yang sedang ihram yang diburukan untuknya. 
Adapun Sesuatu yang ditinggalkan tanpa adanya maksud atau sama sekali tidak dikerjakan Nabi SAW, maka sangat jauh sekali kalau disimpulkan hal tersebut sebagai sebuah keharaman.
Pemahaman sahabat terhadap sesuatu yang didiamkan oleh Nabi SAW.
Para sahabat tidak memahami bahwasannya sesuatu yang didiamkan oleh Nabi SAW menunjukkan kepada keharaman, namun mereka memahami sebaliknya, bahwasannya hal tersebut halal dan dimaafkan.
Dapat dipahami dari atsar yang ada, bahwasannya para sahabat takut menyanyakan sesuatu hal yang tidak pernah disebutkan oleh Nabi SAW, karena bisa jadi pertanyaan mereka akan menyebabkan diwajibkannya hal tersebut atau diharamkannya. 
Diantara sebab Rasulullah SAW melarang umatnya agar tidak banyak bertanya adalah:
1. Sesuatu yang asalnya Mubah, namun karena pertanyaan mereka hal tersebut bisa menjadi diharamkan Allah SWT kepada mereka. Rasulullah SAW mengatakan merekalah orang yang paling besar kejahatannya kepada muslim lainnya.
Rasulullah SAW bersabda:
إن أعظم المسلمين في المسلمين جرما لمن سأل عن شيء لم يحرم عليهم, فحرم عليهم من أجل مسألته 
" Sesungguhnya orang islam yang paling besar kejahatannya kepada muslim yang lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan disebabkan pertanyaan mereka tersebut". ( Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu daud dan Imam Hakim)

2. Sesuatu yang asalnya tidak wajib, maka karena pertanyaan mereka tersebut, Allah SWT mewajibkannya dan akhirnya menyusahkan mereka. Sayidah Aisyah mengatakan bahwasannya Nabi SAW kadang meninggalkan suatu malan yang  sebenarnya beliau sangat menyukai amalan tersebut dikarenakan beliau khawatir umatnya akan mengikuti dan menyebabkan akan diwajibkannya bagi mereka. Seperti nabi meninggalkan Qiyam Ramadhan, karena takut diwajibkan oleh Allah SWT bagi umatnya.
Oleh karena alasan-alasan di atas Rasulullah SAW mewanti-wanti umatnya agar tidak banyak bertanya dalam persolan-persoalan yang telah didiamkan oleh Allah SWT dan Rasulnya SAW.
Dalam sebuah hadis lain dikisahkan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: "Sesunggguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk menunaikan Haji ". Maka Sahabat bertanya: " Apakah setiap tahun wahai Rasulullah". Maka Rasulullah SAW sersabda: " Jika saja saya mengatakan Ya, maka ia akan diwajibkan atas kalian".  Maka turunlah Al-Quran surat Al-maidah ayat 101 yang menjelaskan larangan untuk tidak banyak bertanya. 
Inilah diantara sebab larangan Nabi SAW agar tidak banyak bertanya dan alasan beliau SAW meninggalkan sebagian dari amalan. Bukan karena haramnya bertanya, akan tetapi untuk mengedepankan maslahah bagi umatnya. Maka At-Tarkun Nabi SAW bukanlah dalil untuk pengharaman sesuatu, akan tetapi hal tersebut tidak ada dalil yang menunjukkan kepada satu hukum. Maka hal itu kembali kepada hukum asalnya yaitu dimaafkan dan dibolehkan.
Dapat disimpulkan bahwasannya setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi SAW - ada maksud meninggalkannya- hal tersebut tidaklah dihukumi wajib. Bisa jadi hal tersebut menjadi haram, makruh, mubah atau mustahab. Akan tetapi beliau meninggalkannya untuk menjelaskan kebolehan untuk meninggalkan hal tersebt atau kekhawatiran beliau SAW memberatkan umatnya atau karena maslahah yang lain yang terkandung di dalamnya.
Disamping penjelasan panjang lebar di atas, secara umum kaidah  " At-Tarku Yadullu Ala At-Tahrim" telah terbantahkan oleh hadis-hadis berikut berikut ini:
Rasulullah SAW bersabda:
دعوني ما تركتكم, إنما أهلك من كان قبلكم سؤالهم و اختلافهم على أنبيائهم , فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه , وإذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم. ( رواه مالك و البخاري و مسلم و أحمد و النسائى)
" Biakanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian "

Rasulullah SAW bersabda:
إن الله حد حدودا فلا تعتدوها , وفرض لكم فرائض فلا تضيعوها , و حرم أشياء فلا تنتهكوها , و ترك أشياء من غير نسيان من ربكم , ولكن رحمة منه لكم , فاقبلوها ولا تبحثوا فيها . ( رواه الحاكم و الدار قطني )
" Sesungguhnya Allah telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melanggarnya dan telah menetapkan kewajiban-kewajiban dan janganlah kalian melalaikannya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kalian melanggarnya dan mendiamkan sesuatu bukan karena tuhan kalian lupa akan tetapi sebagai rahmat darinya untuk kalian. Maka terimalah dan janganlah kalian mencari-cari tentangnya ".

Rasulullah SAW bersabda:
ما أحل الله في كتابه فهو حلال , وما حرم فهو حرام , و ما سكت عنه فهو عافية , فاقبلوا من الله العافية , فإن الله لم يكن نسيانا. ( رواه الحاكم )
" Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabnya maka hal tersebut adalah halal dan apa saja yang diharamkan maka hal tersebut adalah haram dan apa saja yang ia diamkan maka hal tersebut dibolehkan, maka terimalah kemaafan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidaklah lupa sedikitpun"
Hadis-hadis di atas telah jelas menjelaskan apa saja yang didiamkan oleh Allah dan Rasulnya penjelasannya, maka semua itu masuk kepada sesuatu yang di maaafkan dan dilapangkan. Oleh karenanya tidak boleh seseorang mengharamkannya hanya karena Rasulullah SAW tidak mengerjakannya. Akan tetapi hal tersebut jaiz dan boleh sampai datang dalil syariyah yang menunjukkan keharamannya. Waallahualam. 
Disarika dari kitab " Mafhum Al-Bid'ah " Karya Dr. Abdul Ilah Bin Husain Al-Afraj dan kitab " Al-Maskut 'Anhu Syar'an " Karya Prof.Dr. Muhammad Anwar Fayyumi.

By: Ust Amal Khaerat Lc.

Nabi SAW Tidak Mengerjakannya, Lantas Haramkah? (1) Reviewed by DD Azhar on 10:55 PM Rating: 5

No comments:

All Rights Reserved by DD Al-Azhar Mesir © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by DD Al-Azhar Mesir

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.